Candi Dadi terletak di Desa Wajak Kidul, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Lokasi candi ini berada di puncak bukit yang cukup sulit dijangkau. Candi Dadi merupakan peninggalan dari zaman Kerajaan Majapahit yang diperkirakan dibangun pada akhir abad ke-14 atau abad ke-15. Pembangunan candi ini dikaitkan dengan ketidakstabilan di Kerajaan Majapahit usai pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389), yang membuat sebagian rakyatnya memilih mengasingkan diri ke daerah perbukitan agar dapat menjalani kehidupan agamanya dengan tenang.
Struktur Candi Dadi
Keberadaan Candi Dadi telah dicatat pada masa penjajahan Belanda. Beberapa ahli yang pernah meneliti candi ini pada saat itu yakni PJ Veth (1878), Haase (1901), Hoepermans (1913), dan NJ Krom (1915 dan 1923).
Candi Dadi berdiri pada ketinggian 360 meter di atas permukaan laut (mdpl), berada di lingkungan pegunungan Walikukun. Laporan Belanda pada abad ke-19 menyebutkan bahwa di lereng utama pegunungan Walikukun di Tulungagung terdapat lima kelompok candi.
Candi Dadi merupakan salah satu dari lima candi tersebut yang keadaannya masih cukup baik. Sedangkan candi lainnya yang dinamai Candi Urung, Candi Buto, dan Candi Gemali, sudah runtuh tidak berbentuk dan hanya berupa gundukan batu andesit yang jumlahnya pun tinggal sedikit.
Denah Candi Dadi berbentuk bujur sangkar berukuran 14 x 14 meter dengan tinggi 6,5 meter. Bangunan candi yang disusun dari batu andesit ini hanya terdiri atas batur dan kaki candi. Pada permukaan atasnya tampak bekas tembok berpenampang bulat berdiameter 3,35 meter dengan kedalaman 3 meter, yang mungkin berfungsi sebagai sumuran. Candi Dadi tidak memiliki tangga ataupun pintu masuk, dan dindingnya pun polos tanpa dilengkapi hiasan.
Apa fungsi Candi Dadi?
Candi Dadi merupakan peninggalan dari zaman Kerajaan Majapahit yang diperkirakan dibangun pada akhir abad ke-14 atau abad ke-15.
Pembangunan candi ini diduga berkaitan dengan masa suram yang terjadi di Kerajaan Majapahit sepeninggal Prabu Hayam Wuruk pada 1389.
Ketidakstabilan politik di kerajaan berimbas pada kacaunya segala bidang kehidupan, termasuk kehidupan agama masyarakatnya. Dalam kondisi demikian, sebagian penganut Hindu-Buddha memilih menjauh dari pusat pemerintahan agar dapat menjalankan kepercayaan mereka tanpa ada gangguan.
Salah satu tempat yang dipilih adalah puncak-puncak bukit, seperti lokasi Candi Dadi. Pemilihan lokasi ini dihubungkan dengan kepercayaan masyarakat zaman dulu bahwa gunung adalah tanah suci tempat persemayaman leluhur atau dewa.
Itulah mengapa Candi Dadi dibangun di atas perbukitan, karena digunakan sebagai tempat pemujaan. Selain itu, fungsi Candi Dadi lainnya adalah sebagai tempat pembakaran jenazah tokoh peguasa.
Menurut JE van Lohuizen-de Leeuw, Candi Dadi merupakan sebuah stupa yang saat ini hanya tersisa bagian dasarnya saja.
Meski pendapat serupa juga dilontarkan oleh Van Stein Callenfels, Agus Aris Munandar tidak sependapat. Agus Aris Munandar berargumen bahwa Candi Dadi adalah sebuah Mahavedi yang berkaitan dengan kelompok Resi. Mengutip ajaran Veda, dikatakan bahwa para Resi mengadakan upacara kurban.
Pada upacara tersebut, beraneka sesaji berupa buah-buahan, daging, bunga, dan perlengkapan upacara lainnya diletakkan di atas altar untuk selanjutnya dibakar sebagai persembahan bagi para dewa.
Asap pembakaran akan membumbung ke atas menuju puncak gunung, yang dianggap sebagai tempat persemayaman para dewa. Para Resi yang melakukan upacara kurban di Candi Dadi diyakini bermukim di Goa Tritis, Goa Pasir, dan Goa Selomanggleng yang ada di pegunungan Walikukun.
Di sadur dari berbagai sumber:
kemendikbud,
www.kompas.com